Workshop Angklung Centre 101 : Perkembangan Instrumen Angklung dari tradisi hingga Modern
Workshop angklung dengan judul “Workshop Angklung Centre 101 : Perkembangan Instrumen Angklung dari tradisi hingga Modern” yang dilaksanakan pada Sabtu, 4 November 2023 di Rumah Angklung yang beralamat di Jl. Pariwisata No.1-3-5, Sukawarna, Kec. Sukajadi, Kota Bandung, Jawa Barat telah mengundang Pak Dinda Satya Upaja Budi yang merupakan seorang dosen prodi angklung dan musik bambu di ISBI sekaligus peneliti budaya musik bambu. Di bawah ini adalah materi yang telah disampaikan oleh Pak Dinda dalam Workshop Angklung Centre tersebut.
Menurut legenda Bali, angklung berasal dari gabungan kata 'Angk', yang merujuk pada nada, dan 'Lung', yang mengartikan patah atau hilang. Dalam pengertian tersebut, angklung dianggap sebagai nada atau laras yang tidak sempurna, sesuai dengan konsep Cumang Kirang dalam Bahasa Bali yang mengindikasikan kekurangan atau kurangnya empat nada. Sedangkan pada masyarakat Sunda, istilah angklung berasal dari "angkleung-angkleungan" yang artinya adalah gerakan para pemain yang disesuaikan dengan ritme. Selain itu, suku kata "klung" didasarkan pada interpretasi bunyi (onomatope) yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Dari situ, lahirlah nama angklung.
Angklung telah digunakan sejak zaman pra-Hindu di daerah Sunda, seperti yang tampak pada masyarakat Baduy (abad ke-4). Penggunaan angklung ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda, bahkan sejak nasi menjadi bahan pokok. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam konteks sejarah Bali, istilah angklung lebih merujuk pada gong angklung, sedangkan angklung dengan bentuk seperti yang ditemui di Sunda disebut angklung kocok.
Dalam kebudayaan Sunda, jenis seni angklung dapat dibagi menjadi tiga bentuk, yakni angklung Buhun, angklung Motekar I, dan angklung Motekar II. Angklung Buhun digunakan dalam upacara ritual, terutama upacara padi, seperti angklung Baduy, angklung Dogdog Lojor, Angklung Buncis, angklung Gubrag, dan lain-lain. Angklung Motekar I merupakan pertunjukan yang tidak terkait dengan upacara, melainkan lebih sebagai hiburan yang mencerminkan kreativitas masyarakat. Sementara itu, angklung Motekar II merupakan bentuk angklung yang berkembang dengan menggunakan teknologi modern, seperti angklung toel dan angklung robot, setelah Pa Daeng Soetigna mengembangkan angklung sebagai media pendidikan. Meskipun memiliki perbedaan, ketiga bentuk angklung ini tetap berperan sebagai alat musik dalam seni pertunjukan, sesuai dengan tiga fungsi utama seni pertunjukan yang disebutkan oleh R.M. Soedarsono: sebagai sarana ritual, hiburan, dan presentasi estetis.
Perkembangan instrumen angklung dari angklung Buhun hingga angklung Motekar, terutama dalam hal bentuknya, tidak mengalami banyak perubahan atau evolusi. Sebaliknya, yang terjadi adalah penyederhanaan bentuk, dengan penggantian material hiasan yang menjadi ciri khas angklung Buhun. Ornamentasi tradisional, seperti daun rotan, kini digantikan dengan bahan-bahan modern seperti benang, rafia, kain bordir, dan pita berwarna. Bahkan, beberapa varian angklung Motekar tidak lagi menggunakan hiasan sebagai bagian dari estetikanya. Ada pandangan yang menyatakan bahwa penyederhanaan ini terjadi karena angklung tradisional dianggap tidak praktis dan terlalu besar.
Perkembangan selanjutnya lebih banyak terjadi pada teknik permainan. Salah satu inovasi paling mutakhir dalam teknik permainan angklung di Indonesia adalah Angklung Toel, yang dikembangkan oleh Kang Yayan dari SAU (Saung Angklung Udjo). Sebelumnya, pada tahun 1980-an, ada munculnya angklung piano yang diciptakan oleh seorang arsitek lulusan UNPAR. Kemudian, pasca tahun 1990-an, berbagai bentuk angklung yang menggunakan teknologi robotik juga mulai bermunculan.
Angklung Sunda, baik yang tradisional (angklung buhun) maupun yang lebih modern (angklung motekar), merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Baik sebagai alat musik maupun seni pertunjukan, angklung telah mengalami perkembangan yang cukup penting, terutama disesuaikan dengan tradisi dan pandangan masyarakat yang mendukungnya. Angklung juga dapat menjadi sarana untuk mengembangkan industri kreatif masyarakat. Perkembangan fungsi pertunjukan sebagai sarana upacara ritual, hiburan, dan presentasi, mengikuti perkembangan zaman. Namun, nilai-nilai seperti kebersamaan dan gotong royong yang diimplikasikan dalam angklung tetap ditekankan.
Pengakuan angklung sebagai bagian dari Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO menempatkan tanggung jawab kepada masyarakat Indonesia, terutama lembaga-lembaga pendidikan, kebudayaan, seni, dan pariwisata, baik di tingkat lokal maupun nasional, untuk terus merawat dan mengembangkan seni angklung ini. Hal ini bertujuan agar angklung terus menjadi sumber kebanggaan dan identitas budaya bagi bangsa Indonesia.
Begitulah paparan materi yang disampaikan oleh Pak Dinda dalam Workshop Angklung Centre kali ini. Yuk baca artikel workshop angklung lainnya agar wawasanmu mengenai angklung menjadi lebih luas!